PATROLINEWS.COM, Jakarta – Independensi yang digaung-gaungkan oleh Dewan Pers selama ini agar diterapkan para awak media hanya isapan jempol belakang. Nyatanya, Dewan Pers sendiri melanggar semua aturan tersebut dengan rangkap jabatan. Selain itu, Dewan Pers juga lemah dalam pemahaman akan kelengkapan administrasi dimana setiap membuat surat edaran tidak membubuhkan stempel diatas tandatangan. Dan lagi, 9 (sembilan) anggota Dewan Pers melampirkan 9 lembar materai 6000 dalam satu surat kuasa untuk kuasa hukumnya.
Hal itu terungkap saat persidangan dalam Perkara Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Dewar Pers oleh dua organisasi jurnalis, PPWI dan SPRI di Pengadilan Negeri Jakata Pusat pada Kamis (7/6/2018).
“Kaya sekali ya, semua ditandatangani di atas meterai enam ribu,” seloroh Ketua Majelis Hakim, Abdul Kohar, SH, MH saat melakukan review atas setiap dokumen yang diperlihatkan dan diserahkan kepada majelis hakim.
Penasehat hukum penggugat yang terdiri atas Dolfie Rompas, SH, MH; Beatrix Nidya Pontolaeng, SH; Hanoch A.P. Pangemanan, SH; Asterina Julifenti Tiarma, SH; dan Tondi Madingin A.N. Situmeang, SH mempertanyakan keanehan Anggota Dewan Pers, Sinyo Harry Sarundajang, yang mantan Gubernur Sulawesi Utara ini sejak 20 Februari telah bertugas sebagai Duta Besar dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Republik Philipina merangkap Kepulauan Marshall dan Republik Palau.
“Pak Sarundajang sudah sejak beberapa bulan lalu menjadi Duta Besar di Philipina, apakah beliau masih bisa menandatangani surat kuasa dari Dewan Pers?” tanya Rompas mewakili team penasehat hukum penggugat.
Terpisah, usai persidangan, Ketua Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI), Heintje Mandagi mengapresiasi sikap Dewan Pers yang memenuhi legal standingnya. Namun, Ia juga mempertanyakan kedudukan Sarundajang sebagai pejabat negara yang merangkap jabatan sebagai anggota Dewan Pers.
“Terlepas dari gugatan kami, bahwa secara etika dan profesionalisme, bagaimana mungkin yang bersangkutan (red – Sarundajang) belum melepas jabatannya selaku anggota Dewan Pers sudah bertugas di luar negeri. Ini berarti Dewan Pers sudah tidak independen lagi karena ada oknum di dalamnya kini menduduki jabatan dalam pemerintahan sebagai Duta Besar. Seharusnya sebelum dilantik sebagai Duta Besar telah resmi mengundurkan diri sebagai Anggota Dewan Pers,” pungkas pria yang berasal dari satu daerah dengan Sinyo Harry Sarundajang itu.
Surat Kuasa Dewan Pers Diduga Palsu
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke juga mengomentari “keunikan” Dewan Pers terkait keberadaan oknum pejabat pemerintah di tubuh lembaga yang oleh ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, wajib bersifat independen.
“Pantas saja Dewan Pers jadi semacam pembunuh wartawan dimana-mana, pengurusnya terindikasi berpihak kepada kelompok kepentingan tertentu,” ujar lulusan PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu.
Kenyataan itu, lanjut Wilson, telah menjadi bukti nyata yang tidak terbantahkan bahwa Dewan Pers melanggar UU No. 40 tahun 1999, khususnya pasal 15 ayat (1) dan ayat (3).
Sekedar mengingatkan semua pihak, termasuk pemerintah, lembaga legislatif, yudikatif, dan masyarakat umum, tentang unsur-unsur yang diperkenankan oleh Undang-Undang Pers untuk menjadi anggota Dewan Pers, berikut dikopi-pastekan bunyi pasal 15 ayat (3) UU No. 40 tahun 1999, yakni: “Anggota Dewan Pers terdiri dari : a. wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan; b. pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers; c. tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.”
Dari ketentuan pasal 15 ayat (3) tersebut, sebut Wilson, tidak satupun poin yang menyatakan bahwa pejabat pemerintah, termasuk duta besar, perwakilan pemerintah di dalam maupun di luar negeri, menteri, dan mereka yang hidupnya dibiayai atau digaji dari uang negara, boleh menjadi anggota Dewan Pers.
“Jadi, sangat wajar jika rekan saya dari SPRI mempertanyakan keberadaan Sarundajang yang menjabat Dubes RI sejak 20 Februari 2018, namun hingga hari ini masih bercokol di Dewan Pers. Kita perlu mengoreksi kebijakan pemerintah dalam mengelola pers dengan menempatkan pejabat aktif pemerintahan di lembaga yang seharusnya independen itu,” tegas lulusan Master of Science in Global Ethics dari Birmingham University, Inggris itu.
Lebih jauh, Wilson juga mempertanyakan pola kerja administratif Dewan Pers terkait surat kuasa yang diberikan kepada majelis hakim pada persidangan Kamis, 7 Juni 2018 pagi tadi.
“Surat Kuasa penunjukkan penasehat hukum Dewan Pers yang ditandatangani oleh sembilan anggotanya, bertanggal 28 Mei 2018. Persidangan ke-3 lalu tertanggal 31 Mei 2018, 4 hari setelah surat kuasa dimaksud tersedia. Mengapa pada saat sidang ketiga itu mereka belum bisa menyerahkan surat kuasa yang telah tersedia di tanggal 28 Mei itu? Saya boleh curiga dong, bahwa surat kuasa itu hasil rekayasa, bahkan mungkin terjadi pemalsuan di sana,” tukas Wilson penuh tanda tanya. (*/red)