PATROLINEWS.COM,Medan-Sehubungan dengan terjadinya Kebakaran Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) Tangerang beberapa hari yang lalu, Pengamat hukum, M Sai Rangkuti, SH, MH, menyampaikan tanggapan dan masukan terkait peristiwa tersebut.
Menurut M Sai Rangkuti, Senin (13/09/2021) di Medan, Kebakaran Lapas Tangerang, harus melihat penyebab Indikatornya dari hulu sampai ke hilir dan jangan hanya melihat siapa yang harus bertanggungjawab.
Selaku Praktisi Hukum Kota Medan M. Sai Rangkuti, SH.,MH dengan melihat Lapas adalah bahagian dari salah satu sub sistem peradilan pidana, Lapas memiliki peran dalam pelaksanaan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan melalui sistem pemasyarakatan berbasis pendidikan, rehabilitasi, dan reintegrasi, didalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan disebutkan bahwa sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat.
Namun dalam perkembangannya pembinaan yang dilakukan tersebut menjadi tidak optimal karena kompleksnya permasalahan yang terjadi di dalam Lapas, salah satu yang menjadi akar permasalahan di Lapas/Rutan adalah kelebihan daya tampung (over capacity).
Berdasarkan data pada sistem database pemasyarakatan total dari tahanan dan narapidana di Indonesia per 24 Maret 2020 telah mencapai 293,583 orang, sementara kapasitas Rumah Tahanan hanya 131,931, jumlah tersebut melebihi kapasitas hingga 123 persen dan Jawa Timur merupakan Kantor Wilayah yang memiliki Tahanan paling banyak yakni 51,5 ribu, sementara rumah tahanan hanya mempunyai kapasitas 12,8 ribu orang, sehingga melebihi kapasitas hingga 304 persen.
Akibat dari adanya over kapasitas tersebut, antara lain berdampak pada buruknya kondisi kesehatan dan suasana psikologis warga binaan dan tahanan, mudahnya terjadi konflik antar penghuni Lapas/Rutan.
Lanjutnya, jika permasalahan over kapasitas tersebut dianalogikan dengan atap yang bocor, berapa banyak dan seberapa besar wadah penampungan yang harus disediakan untuk menampung air yang masuk kedalam rumah ketika hujan jika lubang pada atap yang bocor tersebut tidak segera diperbaiki.
Hal inilah yang terjadi di Pemasyarakatan, berapa banyak anggaran yang harus dikeluarkan oleh negara untuk menambah kapasitas bangunan atau membangun Lapas/Rutan yang baru, atau sampai dimana kemampuan keuangan Kementerian Hukum dan HAM menyediakan anggaran bahan makanan tiap tahunnya untuk memenuhi kebutuhan warga binaan dan tahanan yang terus menerus bertambah.
Maka menurutnya, penyelesaian permasalahan over kapasitas ini seharusnya berfokus pada proses sebelum masuknya orang-orang bermasalah tersebut ke lembaga pemasyarakatan, dimulia dari : Proses Hukum pada Tingkat Penyidikan di Kepolisian, selanjutNya Proses Hukum Penuntutan di Kejaksaan, dan Proses Hukum Ke Pengadilan untuk melaksanakan Isi Putusan, hal ini jalannya Proses Pemidanaan yang berjalan di Indonesia.
“Banyak masalah-masalah hukum yang dapat diselesaikan pada tingkat di Kepolsian dan di Kejaksaan, seperti melakukan pendekatan Restorative Justice, yaitu pergeseran pemidanaan dalam sistem peradilan pidana yang lebih mengutamakan keadilan bagi korban dan pelaku tindak pidana selain bisa juga dengan alternatif hukuman seperti kerja sosial dan lainnya”
“Restorative justice adalah langkah Kongkrit yang seyogyanya harus dilaksanakan dan harus diterapkan dengan cara melakukan Sosialisasi antara Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman dan Lembaga Pemasayarakatan, agar bisa duduk bersama guna mengimplemtasikan Restorative Justice tersebut secara benar dan tidak ragu-ragu untuk mengeksekusinya,” ungkapnya.
Kemudian pria berbadan gempal ini kembali menuturkan, berdasarkan pengalaman, banyak Penegak Hukum Kepolisian dan Kejaksaan untuk ragu mengeksekusi Restorative Justice, apalagi Pelaku dan Korban telah berdamai, hal tersebut banyak terjadi ditengah masyarakat yakni kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga, akan tetapi dikarenakan terbentur dengan alasan SPDP (Surat diMulainya Penyidikan) Ke Jaksa Penuntut Umum, maka restorative Justicve tidak dilaksanakan dan terkesan Perdamaian antara Pelaku dan Korban hanya sebagai meringankan hukuman, hal inilah salah satu contoh yang menyebabkan overnya Kapasitas Tahanan di Lapas/Rutan di seluruh Indonesia.
Dia menegaskan Restorative Justice lebih memandang pemidanaan dari sudut yang berbeda, yaitu berkaitan mengenai pemenuhan atas kerugian yang diderita oleh korban sehingga “PERDAMAIAN” menjadi tujuan akhir dari konsep ini.
“Konsep ini tidak serta merta menghilangkan pidana penjara, namun dalam kasus-kasus tertentu yang menimbulkan kerugian secara massal dan berkaitan dengan nyawa seseorang, maka pidana penjara masih dapat digunakan,” katanya.(zal