Masalah pencemaran lingkungan menjadi ancaman serius bagi industri pariwisata di Indonesia, namun sebaliknya pengembangan industri pariwisata juga akan menjadi ancaman bagi kelestarian lingkungan. Dua hal ini saling berkaitan ibarat 2 sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan, namun haruslah kelestarian ekologi diutamakan daripada ekonomi. Bila limbah tidak dikelola dengan baik maka lingkungan akan rusak, ekonomi masyarakat akan terpuruk dan akhirnya Indonesia akan hancur.
Demikian disampaikan Prof.Christian Fenie asal negara Perancis yang merupakan Konsultan Wisata Bahari saat ditemui di Kanasha Hotel Jl. Dolok Sanggul, Medan, Sumatera Utara, Jumat (30/3/2018) malam, usai dirinya tiba melakukan survey lokasi di Pulau Weh, Provinsi D.I. Aceh.
“Bila berbicara tentang pariwisata maka kita harus memperhatikan kelestarian lingkungan, ekologi dan ekosistimnya, karena tidak masuk akal, kita akan mampu menjual keindahan pariwisata bila lingkungan kita sudah hancur. Jangan mengejar kemajuan ekonomi diatas segalanya tetapi ekologi harus diatasi segalanya, itu filosofinya. Jadi lingkungan wajib kamu wariskan kepada anak dan cucu daripada uang yang kamu wariskan tetapi lingkungan hancur sehingga ekonomi kedepannya turut hancur dan akhirnya negara ini hancur,” tegas mantan staf ahli Menteri Frans Seda itu.
Lanjut Prof.Christian Fenie menjelaskan bahwa wisata laut (Marine Tourism) menjadi terancam, bila limbah rumah tangga dan industri dibuang ke laut dan tidak dapat dikelola dengan baik oleh pemerintah.
“Di Indonesia belum pernah kita dengar limbah dikelola. Coba kita lihat, masyarakat di kota pasti limbahnya dibuang ke selokan lalu sungai dan dari sungai akhirnya ke laut dan itu menjadi ancaman bagi ekosistem laut,” pungkas Prof. Christian Fenie yang sudah menjadi warga negara Indonesia ini.
Selain itu, banyak destinasi di Indonesia terancam karena pemerintah belum memperhatikan mana destinasi yang terikat dengan alam. “Seperti Terumbu Karang yang merupakan rumah dari ikan, bagaimana pun usaha yang kamu lakukan tidak akan ada orang yang mampu memperbaiki bila Terumbu Karang itu sudah rusak,” katanya.
Oleh karena itu, Prof. Christian menyarankan agar pemerintah segera mengantisipasi dampak-dampak negatif dengan menyiapkan sarana dan prasarana bila ingin mengembangkan industri pariwisata Indonesia.
Misalnya, kalau kita ingin mendatangkan 1 juta wisata di Pulau Komodo, yang seharusnya kita takut sama Komodo, tetapi apakah kita pernah terpikir, apakah Komodo itu tidak takut dengan 1 juta wisatawan. Dampaknya, hewan itu akan stres, sampah berserakan. Jadi haruslah diperhatikan agar habitat binatang tidak terganggu, terangnya lagi.
Pria yang kini berumur 74 tahun itu juga menyayangkan hingga sampai saat ini, tidak adanya sekolah pariwisata yang mengembangkan Jurusan Maritim Pariwisata, padahal Indonesian merupakan Negara Bahari.
“Kita bilang kita negara maritim tetapi tidak ada sekolah Marine Tourism, tetapi sejak tahun 1984 saya sudah berjuang dan sampai saat ini tidak ada terealisasi. Tidak ada interaksi diantara pemerintah, masih ego sektoral. Kita mati-matian untuk mencari guide di Pulau Komodo, kenapa itu tidak dikembangkan. Paling tidak ada kursus dibuat oleh pemerintah,” beber Christian yang juga pernah menjadi staf ahli Menteri Frans Seda.
Konsultan Pariwisata di Provinsi Sulawesi Utara itu juga mengingatkan kembali bahwa manusia perlu alam tetapi alam tidak perlu manusia. “Lingkungan harus diutamakan, bukan ekonomi, karena kalau ekologi hancur maka negara ini hancur,” tutupnya.(Nando)
teks foto:
FOTO BERSAMA – Prof.Christian Fenie asal negara Perancis (tengah) yang merupakan Konsultan Wisata Bahari saat foto bersama dengan para wartawan di Kanasha Hotel Jl. Dolok Sanggul, Medan, Sumatera Utara, Jumat (30/3/2018) malam.